by D.N. Rodowick
Terdapat dua pemikiran yang berbeda walalupun saling bersangkut paut dalam reaksi-reaksi initial pada quisioner di majalah Oktober77. Di satu sisi, respon yang menyatakan pentingnya sebuah area baru untuk mempelajari-studi visual-sebagai sebuah persoalan nyata. Di sisi lain, walaupun berbagai macam respon-positif, negatif, atau ambivalen-berasumsi bahwa perlu munculnya sebuah kritik yang seiring dengan gagasan yang telah lama dari disiplin di dalam seni dan sejarah seni.
Saya mengenggam posisi ini dengan baik. Bagaimanapun, saya menemukan bahwa akan menjadi produktif melihat visualitas sebagai sebuah konsep yang paradoks. Dalam hal ini, kritik disiplinaritas mengakibatkan pentingnya sebuah studi visual, tak masalah bagaimana ia di definisikan, didasarkan pada dua seri yang berbeda dari pertanyaan-pertanyaan yang pada saat ini bisa jadi sirkularitasnya begitu produktif. Pertanyaan-pertanyaa tersebut dapat dirangkum sebagaimana dalam tulisan ini.
Apakah disiplin tua bubar karena kegagalan mengkonseptualkan fenomena baru? Hingga studi visual menjawab peningkatan “visualitas” budaya kontenporer, atau sesungguhnya menambah kekuatan dan peredaran visual dengan kemunculan “media baru”-seni interaktif elektronik dan digital.
Atau apakah disiplinaritas dicurigai oleh karena kritik internal dan tekanan filosofis? Berbagai disiplin mencoba membangun kerajaan-kerajaan intelektual dan mempertahankan batas-batasnya dengan memaksakan objek-objek identitas diri-lukisan, sastra, musik, arsitektur, sinema-dan pengetahuan-pengetahuan yang menempel pada mereka. Derrida dan Foucault melakukan kritik yang keras terhadap fondasionalisme yang menghasilkan rezim-rezim pengetahuan yang didasarkan pada identitas diri, dan mengira ada keterkaitan internal antara penulis, konsep-konsep ( tanda, sistem, subjek, kesadaran, citra), dan bidang-bidang (sejarah, filsafat, sains, seni). Saya akan berargumentasi bahwa media “figural” baru tidak terletak begitu saja dalam kategori identitas diri hingga bisa menimbulkan sebuah kritik terhadap disiplin-disiplin yang berusaha menjadikannya sebagai objeknya.
Kekuasaan politik dan dorongan ekonomi memainkannya dengan baik. Kelangkaan sumberdaya yang tersedia untuk universitas berarti bahwa semakin sedikit fakultas, semakin banyak kelas yang diajar, dan konsekuensinya, semakin sedikit spesialisasi dan lebih membuat dengan sekedarnya wilayah-wilayah baru. Itulah sisi gelap interdisiplinaritas: dekan dan pembantu rektor menganjurkan pertumbuhan bidang-bidang seperti “studi visual” supaya mengurangi dan merelokasi sumberdaya sebaik seperti mengurangi ukuran dan kekuatan departemen-departemen.
Tak diragukan lagi, seluruh faktor-faktor tersebut relevan untuk saat ini. Maka saya pun akan memulai dengan sebuah peringatan. Dari hampir sebagian besar pemikir-pemikir inovatif dan administrator-administrator berjalan dengan payah. Interdisiplinaritas muncul dengan sangat kuat di mana struktur-struktur institusional dan posisi-posisi filosofis berada dalam perubahan yang terus-menerus. Pada tahun 1960 dan awal 1970, kekuatan institusional mendorong program-program inovatif seperti studi perempuan, studi film, atau studi afrika pada saat ekspansi ekonomi. Sekarang inovasi-inovasi interdisipliner malahan dimotivasi oleh kelangkaan peningkatan sumberdaya. Paradoks utama studi visual adalah bahwa interdisipliner kreatif didirikan dari ketiadakpastian dalam kelangkaan.
Persoalan-persoalan ini akan sering mendatangi segala macam program interdisipliner pada saat-saat mendatang. Meskipun begitu, saya ingin membangun kehati-hatian yang bersifat historis disamping menyelidiki dengan lebih dalam pada paradoks yang bersifat filosofis yang dimunculkan oleh ide studi visual. Di Universitas Rochester, kita menawarkan Ph.D. dalam bidang Visual dan Cultural Studies. Program kami, seperti yang lainnya, bercampur bersama melalui sebuah konsensus yang didasarkan pada perhatian yang komunal antara media “visual”-lukisan, seni pahat, fotografi, cinema, video, dan media-media baru-serta teori-teori kritis yang mengiringinya.
Tapi apakah yang terjadi jika gagasan “pandangan umum” kita tentang visual dilepaskan? Apakah yang terjadi jika kita tak lagi mengakui konsep keterkaitan internal visual dan menggantinya dengan kritik filosofis dan kritik genealogis?
Di antara yang lain, Derridalah yang telah menunjukkan bahwa self-identity sebuah konsep hanya bisa dinyatakan dan dipertahankan melalui logika oposisi dan hirarki. Perkiraan koherensi visualitas adalah produk tradisi filosofis yang panjang yaitu pembagian diskursif dari seni visual. Dalam bukunya Laocoön, Lessing menyusun perbedaan konseptual visual dari puisi atau sastra. Perbedaan ini, telah ada secara luas sejak abad 18, tetap tidak berkurang walaupun oleh kekuatan berbagai macam tantangan artistik dan filosofis. Tidak ada keputusan estetik yang valid, dia berargumentasi, tanpa penggambaran batas yang jelas antara seni yang di dasarkan pada suksesi dan yang didasarkan pada simultanitas. Dengan kata lain, Lessing mengajukan pembagian yang ketat bagi bentuk temporal seni-seni spasial. Dari sini, melalui kriteria self-identity, definisi filosofis atas estetika menjadi suatu persoalan perbedaan media dan kemudian meletakkannya dalam hirarkis nilai. Dari Kant, Hegel, dan yang setelahnya, seni-seni immaterial seperti lirik puisi menempati kedudukan tertinggi semenjak mereka dianggap sangat spiritual, itulah mengapa mereka berhubungan sangat akrab dengan immaterialitas dan temporalitas pemikiran. Inilah bias logosentris yang ada semenjak keinstansiasi puisi dalam cetakan tak dapat disamakan dengan lisanan dan pikiran. Tidak pula menuntut “teks” agar diperlakukan sebagai sebuah fenomena spasial atau figuratif. Sebaliknya, seni yang lebih bersifat material dan gravity-laden di tempatkan di bawah skema ini. Silmultanitas sebagai ekspresi “spasial” berarti kekentalan materi-pigmen-pigmen, bumi, batu, tubuh-menahan dan memperlambat ekspresi dan pikiran. Ide filsafat estetika abad 18-19 memandang perbedaan antara persepsi dan pemikiran dalam hubungan materi dan substansi. Berpikir, atau “permainan ide” dalam catatan Kantian, lambat dan menjadi rumit jika diekspresikan dengan tangan dan diserap oleh mata. Segera hal tersebut memuncak dan membumbung tinggi, ketika ia dibebaskan dan dengan leluasa masuk ke telinga. Ide referensi atau penandaan juga bermain dalam dua arah. Seni spasial atau visual merebut persepsi-persepsi dari materi sehingga dengan demikian cenderung dievaluasi (atau didevaluasi) kesamaannya dengan objek-objek fisik atau event-event yang dinspirasikan olehnya. Seni linguistik atau temporal memperoleh nilai dari abstraksi dan immaterialitas, mereka berbagi dengan aktivitas spirit yang murni atau pemikiran.
Pada masa-masa akhir abad 17, ide mengenai estetika ditangkap dalam sebuah oposisi antara linguistik dan seni plastik. Visualitas atau seni visual didefinisikan di sini sebagai sesuatu yang mempercepat pemikiran, yang menyenangkan jika bukan yang dapat diharapkan pada akhirnya. Inilah apa yang secara simultan dimaksudkan oleh seseorang seperti Lessing dan tradisi filosofis yang mengikutinya. Sebuah tanda berhubungan secara spasial, dan kemudian menjadi sebuah tanda “visual”, hanya di dunia maya orang yang kejam dan kasar serta kualitas-kualitas materi yang dekil dari mana perasaan harus direbut dengan kekuatan keahlian. Artis visual bekerja, penyair berkibar.
Di antara media “baru”, munculnya sinema, yang pada saat ini telah seratus tahun umurnya. Persetan dengan skema yang bersifat filosofis sekalipun, ia tidak mampu melegonya dengan sukses. Dalam pikiran hampir sebagian besar masyarakat, sinema tetap sebuah media “visual”. Bahkan seringkali, sinema tetap mempertahankan nilai estetiknya dengan menyatukan dirinya sendiri dengan seni visual lain serta memaksakan self-identitynya sebagai sebuah medium pembuat citra. Akan tetapi paradoks besar sinema, dengan penghargaan terhadap kategori-kategori konseptual estetika abad 18 dan 19, adalah bahwa keduanya, yang temporal dan immaterial, sama baiknya dengan medium spasial. Sifat hibrida ekspresi sinema-yang mengkombinasikan citra-citra fotografi yang bergerak, suara dan musik sebaik berbicara dan menulis-telah sama-sama mengilhami pembela dan pencela sinema. Bagi pembela sinema, khususnya di abad belasan dan duapuluhan, film merepresentasikan sintesis besar Hegelian-puncak seni. Kalau tidak, dari sebagian besar sudut pandang konservatif tidak akan pernah bisa menjadi seni, karena ia adalah sebuah media orang Bastar yang tidak akan pernah diam dengan nyaman di dalam sejarah filsafat estetik. Permasalahan ini menjadi lebih buruk lagi oleh munculnya dan perkembangbiakan media digital. Seni digital selanjutnya membaurkan konsep-konsep estetik semenjak mereka kehilangan substansi dan oleh karenya tidak gampang diidentifikasi sebagai objek. Dasar dari seluruh “representasi” adalah virtualitas: abstraksi matematik yang memberikan seluruh tanda-tanda yang mengabaikan kesamaan media outputnya.
Sebagai sebuah konsep, visualitas adalah sebuah ruang berisi pertentangan. Apa yang paling membuat saya tertarik terhadap studi visual kontenporer bukan hanya anggapan perbedaan media atau etnografi budaya penonton. Sesungguhnya tantangan yang terus menerus ingin saya munculkan terhadap visual dan cultural studies adalah ia harus dilakukan dengan permasalahan yang bersifat filosofis: rekaan dan kritik konsep muncul secara implisit dalam munculnya sejarah media baru. Bagi saya media baru mengilhami “studi visual” melalui konfrontasi filosofis yang implisit. Sinema dan seni elektronik adalah produk konsep yang tidak bisa dilihat dengan sistem estetika, dan tak perlu bisa; mereka lebih maju dari filsafat dalam hal ini.
Oleh karena itu studi visual bagi saya didasarkan pada pengakuan bahwa media baru membutuhkan sebuah dekonstruksi konsep visualitas dan ketidakbersambungan satu sama lain sebaik yang terjadi dalam tradisi filsafat dari mana mereka berasal. Posisi ini memerlukan kritik estetik yang bersifat geneologik dan investigasi positif terhadap konsep yang dibuat dan disodorkan oleh media baru sebagaimana yang telah saya tunjuk secara bebas di bawah tanda “figural” dan budaya audiovisual”. Saya telah membuat garis besar sebuah pendekatan terhadap geneologi estetika dalam essai saya mengenai pembacaan Derrida terhadap Kant yang berjudul “Impure Mimesis.” Penyelidikan filosofis saya mengenai paradoks-paradoks yagn dikemukakan oleh konsep figural muncul dalam “Reading The Figural” dan “Audiovisual Culture and Interdiciplinary Knowledge.” Era kita tak lagi terdiri dari satu citra dan satu tanda. Ia lebih ditentukan oleh simulakra dalam terminologi Deleuze: Seri-seri yang bersifat paradoks di mana konsep-konsep perihal model dan peniruan, The same dan The one (Yang Sama dan Yang Satu), Yang Identik dan Yang Serupa, tak lagi dapat secara mudah didamaikan atau direduksi oleh prinsip-prinsip kesatuan dan self-same.
Kepustakaan
“Audiovisual Culture and Interdisciplinary Knowledge” New Literary History 26 (1995): 111-121.
“Impure Mimesis, or the Ends of the Aesthetic” dalam Peter Brunette dan David Wills, eds., Deconstruction and The Spatial Art: Art, Media, Architecture (Cambridge: Cambridge University Press, 1993): 96-117.
“Reading the Figural,” Camera Obscura 24 (1991): 11-44.
* Diterjemahkan oleh Husni Munir dari “Paradoxes of the Visual”, October 77 (Summer 1996): 59—62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar